Senin, 02 Agustus 2010

PERMAINAN ANAK; dahulu, kini, mendatang..


Sebuah perkampungan di sudut selatan kota Jakarta, Mampang Prapatan. Hampir lima tahun saya hijrah dari kampung kelahiran saya ini untuk meraih gelar sarjana. Ibu saya pernah bercerita, konon, kedua orang tua saya sudah fall in love pada lokasi kampung ini sejak mereka pertama kali mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal keluarga kami. Dan akhirnya di sebuah kontrakan kecil keluarga ini menuai sedikit demi sedikit kenangan di kampung ini. Jika dilihat dari lokasi, kampung ini bisa dikatakan sangat strategis. Bukan terletak di pinggiran ibukota, melainkan sangat dekat dengan jantung kota Jakarta. Rasanya alasan inilah yang membuat kedua orang tua saya akhirnya memilih kampung ini sebagai tempat tinggal kami. Ya, nyatanya kami memang termasuk kategori keluarga pendatang di kampung ini. Ayah saya seorang keturunan Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan Ibu saya kelahiran Ngawi, Jawa Timur. Tak ada salahnya jika kemudian saya menyebut diri saya sebagai anak keturunan Timur Tengah, begini saya sering memperkenalkan diri kepada teman-teman yang baru berkenalan dengan saya. Banyak yang tidak percaya ketika mencocokkan face Timur Tengah ala saya dengan Timur Tengah beneran, sangat wajar saya rasa... Akan aneh jika ada yang kemudian percaya pada joke saya itu.

Sore ini sepulang beraktivitas, sengaja saya menyempatkan diri untuk sedikit ber-napak tilas jejak masa kecil saya dulu. Saya masih ingat benar, dahulu, ada sebuah lapangan kecil di dekat rumah sebagai tempat saya dan sahabat-sahabat kecil saya bercengkrama menghabiskan waktu kami untuk bermain sepulang sekolah. Permainan-permainan seperti bentengan, tapak gunung, galasin, ular naga, petak umpet, petak jongkok dan aneka permainan tradisional lainnya yang bersifat kolosal karena setidaknya membutuhkan lebih dari 3 atau 5 orang agar lebih terasa greget permainannya. Begitu pun permainan-permainan yg tidak membutuhkan arena bermain yang luas, dan kebanyakan dimainkan oleh anak-anak perempuan, seperti permainan bola bekel, congklak, dan yang lainnya.

Nyatanya saat ini yang saya temukan, bad news friends.. jejak lapangan tempat kami dahulu bermain kini sudah hilang tak berbekas. Hanya deretan petak-petak rumah kontrakan yang kini terlihat. SESAK, kesan pertama yang muncul saat saya coba menggambarkan kampung ini dalam satu kata. Pantas sejak tadi saya tak banyak melihat lari-lari kecil anak-anak yang harusnya lumrah di sebuah lokasi perkampungan macam ini. Dan saya banyak temui rumah-rumah yang dikerubungi anak-anak usia bermain. Mereka sibuk mengendalikan sebuah alat di tangan mereka, yang ternyata setelah saya cari tahu, benda hitam kecil itu bernama joy stick. Atau di sudut lain kampung ini, saya juga lihat sebuah rumah kaca bertuliskan "warnet" alias warung internet yang juga tak kalah ramainya dengan rumah joy stick tadi. Hmmm...ternyata saat ini orientasi permainan anak sudah sangat berubah ya?.

Entah ini bisa dikatakan sebagai sebuah kemajuan atau justru kemunduran? Sulit rasanya mendefinisikan temuan saya sore ini, pikir saya. Di satu sisi, mungkin ini adalah sebuah kemajuan, anak-anak masa kini telah mengenal teknologi tingkat tinggi, tak seperti saya dulu. Pertama kali saya mengenal sebuah benda bernama komputer saat duduk di kelas 3 SMP. Pikir saya juga, pastinya anak-anak sekarang cerdas-cerdas. Karena sudah kenal dunia internet, dimana segala informasi dari seluruh penjuru dunia ada di sana. Mungkin juga ini adalah efek yang muncul ketika anak-anak kehabisan tempat bermain terbuka, sesuai dengan temuan saya tadi, yang akhirnya mengarahkan mereka pada benda-benda berteknologi tinggi itu. Namun efek yang muncul dari keasyikan anak-anak pada benda-benda berteknologi tinggi itu adalah mereka menjadi sangat asyik dengan dunia mereka sendiri.

Efek yang dihasilkan dari permainan-permainan masa kecil saya dulu sangat berbeda, yang menuntut saya untuk juga peduli pada keberadaan teman-teman saya yang terlibat pada permainan. Efek yang muncul kemudian adalah anak-anak yang besar melalui pendidikan permainan-permainan tradisional adalah kecerdasan sosial yang mereka dapat sebagai sebuah konsekuensi logis.

Tak jarang dari anak-anak sekarang yang hanya memiliki sedikit Jaringan Permainan, saya menyebutnya demikian. Berdasarkan pengalaman masa kecil saya tentunya, saat saya kecil dulu, saya punya banyak teman. Bahkan dari kampung sebelah. Bisaanya kami bertemu saat hari libur, dimana di pagi hari kami bisaanya diizinkan untuk bermain tidak seperti hari-hari bisaanya. Bermain sambil olahraga berjalan kaki keliling sampai ke kampung tetangga. Di sinilah kami bisaanya bertemu. Dan tak jarang akhirnya kami bermain bersama, bahkan permainan antar kampung. Maka tak heran jika akhirnya jaringan permainan kami luas.

Jika kemudian kita melihat dari sisi teori, ada satu kecemasan yang saya khawatirkan akan muncul di masa mendatang. Kaitannya dengan konsep IQ dan EQ yang belakangan ini banyak diperbincangkan masyarakat kita. Permainan-permainan masa kini, baik yang bersifat berteknologi tinggi seperti game komputer yang menuntut anak untuk bisa berpikir strategis mengalahkan si komputer, atau permainan-permainan seperti sudoku, scrable, dan rubik. Saya yakin permainan-permainan tersebut akan membantu perkembangan IQ anak-anak.

Namun tidak dengan konsep Emotional Quotient (EQ) yang menurut E.L. Thorndike (1920) mengatakan bahwa konsep EQ bermula dari konsep "kecerdasan sosial". Thorndike mendefinsikan kecerdasan sosial sebagai kemampuan memahami dan mengatur lelaki dan perempuan, anak lelaki atau anak perempuan, untuk bertindak secara bijak. Gardner memasukan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal dalam teori kecerdasan. Kedua kecerdasan itu dimasukan dalam kecerdasan sosial. Dia mendefinisikannya sebagai berikut:

1. Kecerdasan Interpersonal adalah kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana bekerja secara kooperatif dengan mereka. Politikus, guru, salesman, dokter, dan pemimpin religius yang sukses adalah seseorang yang mempunyai kecerdasan interpersonal yang tinggi.
2. Kecerdasan Intrapersonal adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri. Inilah kapasitas untuk membentuk model diri sendiri yang akurat dan sebenarnya dan mampu menggunakan model tersebut untuk dijalankan secara efektif dalam kehidupan.

Kecerdasan emosi atau EQ meliputi kecerdasan sosial dan menekankan pada pengaruh emosi pada kemampuan melihat situasi secara objektif dan memahami diri sendiri dan orang lain. Inilah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menggunakan kekuatan emosi, disalurkan sebagai sumber energi, kreativitas, dan pengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, di tempat kerja atau dalam berhubungan dengan orang lain. Emosi sendiri adalah sumber energi dari manusia, aspirasi dan dorongan, membangkitkan perasaan terdalam dan tujuan hidup, dan mentransformasikannya dari apa yang kita pikirkan menuju menghargai hidup kita. Sesungguhnya kesuksesan kita dalam hidup bukan hanya disebabkan oleh kecerdasan tapi ada kualitas-kualitas yang lainnya seperti kepercayaan, integritas, otensitas, kreativitas, kejujuran, dan keuletan juga sangat penting. Kecerdasan yang lain inilah yang disebut dengan kecerdasan emosi .

Namun saya senantiasa berharap, semoga ini hanya pikiran jelek saya. Karena saya yakin, setiap orang tua modern masa kini sudah berpikir sangat maju dan visioner. Mereka tentunya tak ingin anak-anak mereka menjadi pribadi yang hanya memiliki IQ tinggi, akan tetapi juga memiliki EQ yang baik. Salah satu jalan yang bisa kita tempuh adalah melalui pengenalan anak-anak dengan permainan-permainan yang dapat melatih kecerdasan sosial. Dan satu efek positif yang tentunya menjadi sebuah konsekuensi logis ketika anak-anak kita tidak asing dengan permainan tradisional adalah anak-anak dapat mengenal mengenai kebudayaan local mereka. Karena pada dasarnaya permainan tradisional lahir dari hasil kreativitas yang bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal. Dalam bahasa Van Peursen, hal itu merupakan sebuah manifestasi kebudayaan setiap orang dan kelompok yang mengarah pada segala perbuatan manusia, seperti cara menghayati kehidupan. Begitu penting permainan tradisional sehingga pemerintah melalui Dinas Kebudayaan memasukkannya sebagai salah satu bidang garapan. Hal ini merupakan upaya untuk mengobservasi, mendata, merawat, dan melestarikan nilai-nilai budaya kita. Dibutuhkan upaya maksimal baik dari jajaran pemerintah melalui dinas terkait maupun masyarakat sebagai pelaksana dalam melestarikan produk budaya permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai luhur dan pesan moral. Tanpa usaha seperti itu, bersiaplah anak-anak generasi kita sekarang dan mendatang menjadi pribadi yang tidak memiliki identitas kebudayaan.

Mari Ayah dan Bunda, kita didik anak-anak kita secara bijak....